KISAH KESEDIHAN SISWA
TANGIS YANG AKU SEMBUNYIKAN
Waktu saya duduk di kelas III SMP. Baru kali itu saya mendapatkan panggilan orang tua dari guru BP. Sejak saya SD sampai tamat, guru-guruku sangat senang dan menyukaiku. Panggilan pertama secara lisan tidak saya gubris. Di hari kedua guru BPku mulai marah. Walaupun saya sudah jelaskan bahwa bukan saya yang banyak alpanya. Tetapi ia bersikeras bahwa saya sering tidak hadir. Dengan menunjuk-menunjuk daftar hadir. Ini alpamu banyak sekali. Saya sudah jelaskan tapi saya takut karena ia galak sekali.
Saya mulai menghindar kalau ia masuk di kelasku. Suatu hari tiba-tiba ia mendapatiku sedang menghapus papan tulis. Ia berteriak jangan hapus. Lalu muncul dihadapanku dan berkata; mana orang tuamu? Kemudian ia memegang kepalaku lalu menghapuskannya ke papan tulis. Semua teman-temanku pada ketakutan.
Bukan berarti saya tidak menyampaikan kepada kedua orang tuaku. Bapakku menyuruh ibuku. Akhirnya ibuku yang menghadap ke guru BPku. Suara mikrofon memanggil-manggil namaku. Orang tuanya sudah ada di ruangan BP harap menghadap. Dari kejauhan saya sudah sedih dan uring-uringan. Air mata sudah mulai menyesakkan dada saya. Setelah saya tiba di ruang BP. Ibu saya berkata; ini anak saya Pak, pintar dan rajin pergi sekolah walaupun ia naik sepeda sejauh 10 km. Setelah buku absen diperiksa dan diperlihatkan ke ibu saya. Ibu saya berkata; coba diperhatikan bukan anak saya yang banyak alpanya, tapi anak yang di bawah nama anak saya. Langsung guru BP itu terkejuk dan meminta maaf ke ibu saya. Saya dicari-cari tapi sudah lari dari ruang BP sambil menangis sekeras-kerasnya. Menderita rasanya saya waktu itu, karena tangis saya sembunyikan.
Irwas Abdullah Gowa
JANGAN BANDINGKAN AKU DENGANNYA
Sebuah kebahagiaan tentunya jika dalam satu sekolah kakak dan adik kita juga ada disana, sama-sama sekolah, sama-sama belajar di kelas yang berbeda. Guru kelas kakakku dulu menjadi guru kelasku sekarang, dan guru kelasku sekarang akan menjadi guru kelas adikku nanti. Begitu seterusnya jika bapak dan ibu guru tersebut masih bertugas di sekolah itu. Sebuah Sekolah Dasar di desaku. mulai dari kakak kedua ku hingga adikku yang keenam, bersekolah di sekolah yang sama. Hampir semua guru senior kenal dengan kami beradik kakak lengkap dengan karakter, bentuk fisik, bahkan kemampuan serta bakat kami masing-masing.
Adalah dia guru kelas IV saat itu yang merupakan guru kelas kakakku dua tahun lalu, dan kini menjadi guruku. Sebuah rasa simpati yang dalam karena kemampuannya mengenali karakter dan kemampuan siswanya lebih detail, sirna seketika. Saat itu tiba-tiba aku disuruh menyelesaikan soal matematika di papan tulis, aku gelagapan dan tidak mampu menyelesaikannya. Dan.... "plaaak" suara kayu rotan yang dipukulkan ke meja semakin membuatku gemetaran, tak sampai disitu "kamu kok beda banget sama kakakmu? Kakakmu pintar, cantik, bisa apa saja, kamu...!" guru cantik itu memang tidak melanjutkan kalimatnya, tapi rasa itu tertancap di hatiku hingga kini. Semua orang, tetangga, kawan-kawan sudah lebih dulu melihat perbedaanku yang sangat kontras dengan kakakku itu dan mereka sudah sering mengomentarinya. Aku berpikir guruku tidak akan berlaku sama dengan mereka yang bukan guru.
Misdayani-Pekanbaru
KUNING, COKLAT, LALU HITAM
Sebagai ketua kelas aku menginginkan semua teman - teman mau melaksanakan apa yang telah disepakati.
Ada 3 orang teman sekelas yang akan ikut pertandingan sepak bola. Aku meminta izin kepada pihak sekolah agar kelas kami menjadi sporternya. Kenyataannya sekolah tidak mengizinkan.
Aku mengajak teman-teman untuk tetap menjadi sporter tampa izin dari sekolah. Esok harinya aku menghadap ke pihak sekolah untuk bertanggung jawab atas kejadian kemaren. Aku bersedia menjalankan sangsi yang diberikan. Faktanya sekolah memberikan hukuman kepada satu kelas. Kami harus hormat bendera dari pagi sampai sekolah usai.
Guru olah ragaku seorang laki-laki muda yang ganteng tapi killer. Di jam olah raga kami diharuskan berlari 3 km. Aku minta izin untuk tidak ikut, karena dokter tidak mengizinkan untuk melakukan olah raga berat (aku pernah jadi mayat hidup). Tetapi guruku tidak peduli dengan permohonanku. Dia berkata, "Akal-akalan kamu saja, malas olah raga". Cepat lari!. Tendangannya mendarat dikakiku.
Akupun membulatkan tekad untuk berhasil sampai ke finis.
Aku bertanya pada temanku, "Upik.. warna rumput itu kuningkah ?". Hijau, jawab Upik.Aku berkata lagi, "Upik.. warna rumput itu dari kuning berubah coklat, aku pusing, aku mau tidur, warnanya semakin gelap". Ternyata aku pingsan.
Guru olah ragaku datang marah-marah. Berdiri! berdiri! berdiri!, ucapnya sambil menendang-nendang kakiku.
Upik datang mencegah guru menendang kakiku. Upik mengulangi kalimat yang aku sampaikan tadi. Baru mereka menyadari bahwa aku memang pingsan.
Setelah sadar, aku mendapati kakiku penuh lebam biru. Air mataku berlinang. Aku berfikir, mungkin guru olah ragaku ini ikutan kesal kepadaku karena masalah cabut kemaren dan tidak percaya dengan kondisiku yang belum normal.
Belajar dari pengalaman ini. Sebagai guru aku harus meneliti permasalahan yang disampaikan siswa. Tidak bisa langsung memvonisnya. Kekerasan fisik menimbulkan bekas, tidak saja di tubuh tapi juga di dalam sanubari yang tidak pernah hilang sepanjang hayat
Elvina, S.Pd Pasaman
Komentar
Posting Komentar